Menjadi Merdeka
Hari ini tepat 17 Agustus di tahun 2015. Seluruh rakyat
Indonesia kembali bersorak sorai merayakan hasil kemerdekaan yang direbut dan
di proklamirkan 70 tahun silam. Tanggal yang sakral dan heroik terdengar oleh
seluruh lapisan masyarakat. Semua kembali berpengharapan akan kehidupan yang
lebih baik. Berharap pada siapa? Negara tentunya. Artinya pemerintah yang duduk
pada kursi-kursi nyaman dalam gedung.
Tapi coba lihat sekitar, coba kembali merenung dan hayati.
Siapa yang belum merdeka? Siapa yang perlu dimerdekakan? Kita.. bukan negara.
Berharap jauh pada pemerintah adalah hal lumrah dan boleh. Dalam kebijakannya,
kita hidup dan melakukan banyak aktifitas. Namun jangan lupa bahwa takdir kita,
ditentukan oleh tangan kita sendiri. Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum, sebelum kaum itu merubahnya. Sebuah ayat yang dalam yang ketika turun,
belum terpikir seperti apa nantinya. Hari ini terjadi. Bukankah Allah Maha
Kuasa? Kenapa ia tidak segera merubah Indonesia menjadi negara yang makmur dan
sejahtera? Nyatanya terlalu naif jika dengan segera, Tuhan merubah negara ini
seperti dongeng-dongeng masa lalu. Kenyataan mesti kita sadari bahwa kita jauh
dari kata merdeka dan layak menjadi sejahtera. Jika kita tidak mau berusaha
merdeka, maka buat apa Tuhan menyodorkan ‘tanganNya’.
Perubahan itu dimulai dari dalam diri, pada hal kecil dan
dimulai saat ini juga, kata-kata sederhana dari Aa Gym yang sering terngiang.
Jika tak segera berusaha, maka kita tak dapat merdeka meski tanggal 17 Agustus
tahun berikutnya, nyata-nyatanya kita tetap ikut merayakan. Merdeka pada apa?
Merdeka pada banyak hal. Pada budaya-budaya yang buruk buat kita, pada
keinginan dan ego kita, pada niat-niat buruk dan pada keterbelakangan.
Semestinya, kita (individu) sebagai bagian terkecil dari
entitas Bangsa Indonesia menjadi modal dan penyokong terbesar pada kehidupan
bangsa. Perekonomian bangsa yang sehat, timbul dari masyarakat yang giat
berusaha, jujur dan amanah. Kehidupan sosial bangsa yang toleran lahir dari
masyarakat yang mau menerima perbedaan dan tak memaksakan kehendak kelompoknya.
Bangsa yang cerdas lahir dari keluarga-keluarga yang bahagia, sehat dan
memiliki cukup pendidikan. Semua yang besar lahir dari yang kecil, sebuah
pemicu dan riak-riak yang menjadi ombak nantinya. Bukan sebaliknya seperti yang
kita lihat hari ini. Perubahan dituntut dari Pemerintah, melalui kebijakan dan
program yang entah sampai kapan kita harus menunggu hasilnya. Kita lupa bahwa
pemerintah adalah orang-orang juga, entitas dari masyarakat yang kebetulan
berdiri lebih tinggi dari kita. Artinya pemerintah yang ada sekarang, baik
buruknya adalah lahir dari masyarakat kita..!
Jadi mari berhenti menodong-nodong pemerintah yang kelihatan
egois itu. Bisa jadi mereka adalah saudara kita, atau teman dari kenalan kita,
tetangga kita, rekan kuliah ayah dan ibu kita dulu. Mereka belajar dari
masyarakat dan tumbuh di tengah masyarakat. Jadi bangunlah masyarakat lebih
baik dengan menjadi individu yang baik pula. Kenyataannya, hal-hal kecil yang
kita lakukan bakal menyeret nama atau entitas lain yang kebetulan kita pernah
ada di dalamnya. Saya ketika menjadi pelanggar dan melakukan kesalahan, maka
nama baik orang tua bakal tercoreng, nama baik kampus bakal ikut buruk dan
sederet entitas lain bakal terbawa. Kita membawa nama-nama lain disamping nama
yang kita punya. Menjadi baiklah, maka orang lain akan baik, masyarakat akan
menjadi baik, lalu negara menjadi baik. Selamat menjadi merdeka, Bangsa
Indonesia!
No comments:
ayo, komentari apa yang telah anda baca..! berkomentar berarti telah ikut melestarikan budaya ngeblog. jangan sia-siakan waktu anda dengan berdiam diri.. berkaryalah dan menginspirasi orang lain..!