Once upon a time in Malaysia (3)
Keesokan harinya saya diajak Kakek Adnan untuk melihat
kantor desa di Felda Palong 4. Sayangnya ketika disana belum ada pegawai yang
masuk, karena pegawai masuk jam 9 pagi. Setelah mengunjungi kantor desa itu,
saya diajak berkeliling palong 4,5 dan 6.
Kami lihat salahsatu sekolah disana
dan mengunjungi beberapa kerabat. Kami menyempatkan untuk melihat pasar disana.
Pasar tradisional yang keadaannya mirip dengan di Indonesia. Disana nenek
Halijah membelikan sejumlah buah tangan yang cukup banyak, sekaligus saya beli
nomor malaysia untuk kelancaran komunikasi dengan keluarga di Indonesia.
Kami rehat sejenak, saya mulai mengepak koper dan barang
bawaan lain karena petualangan akan berlanjut di kota Tampin, tempat tinggal
nenek Jainah. Sebelum sampai ke Tampin, kami melewati makam eyang Mista di
batang rokan. Nama batang rokan sendiri diberikan oleh pendatang dari Indonesia
yang dulu tinggal disitu. Kami melihat jajaran makam dan mengirimkan sedikit
doa untuk eyang Mista. Ia seorang petualang sejati yang mampu tetap hidup di
tengah penjajahan dan di negeri asing. Saya sangat salut dengan kisahnya.
Petualangan diperlengkap lagi dengan kunjungan kami ke rumah eyang di masa
lampau. Saya berkeliling untuk melihat kondisi sekitar. Rumahnya sudah cukup
rapuh dengan kebun yang mengelilinginya.
Hampir saja terlupa, kami juga menyempatkan diri untuk
berkunjung ke Sekolah Menengah Kebangsaan Dato Muhammad Taha di Gemencheh. Sekolah
yang setara SMP dan SMA itu merupakan sekolah tempat Nenek Jainah mengabdi
menjadi Kepala Sekolah hingga 2011 lalu. Disana kami disambut dengan hangat. Nenek
mengajak saya untuk melihat asramanya, namun tak sempat berjalan jauh, kami
hanya melihat aktifitas siswa membungkus bubur di Aula Makan sekolah. Siswa nampak
bekerjasama dan penuh tanggungjawab untuk menyediakan makanan berbuka.
Ramai-ramai
mereka dibantu oleh guru-guru yang juga hadir disana. Nenek kemudian
menjelaskan bahwa ia kedatangan cucunya dari Indonesia, setelah sekian lama tak
dapat berkomunikasi. Kunjungan saya merupakan kunjungan balik setelah kunjungan
mereka di 2012 lalu. Rekan sejawat nenek pun langsung menyapa saya dan kagum
dengan keberanian dan niat saya untuk berkunjung ke Malaysia. Maklum saja, saya
modal nekat doang dengan pengalaman menjelajahi berbagai macam tempat di
Indonesia sebagai Mahasiswa Geografi. Jadi pergi ke Malaysia merupakan
tantangan buat saya. Sore harinya kita sampai di kota tampin dan menyegerakan
untuk berbuka.
Rumah nenek Jainah berada di tengah kota tampin, sekeliling
perumahan dipenuhi oleh warga cina, banyak juga spot-spot yang berlatar cina,
plang nama toko dan gedung dilengkapi dengan tulisan cina, belum lagi ada
beberapa warga keturunan India yang saya temui di sepanjang pengamatan.
Esok harinya saya diajak nenek untuk berkeliling kota,
sekaligus membelikan saya baju Melayu. Disana terdapat pula bazaar Ramadhan
yang diramaikan dengan banyak stand makanan, baju-baju dan souvenir khas
Ramadhan. Saya pun tiba di toko baju. Saya memilih baju melayu yang kira-kira
cocok dipakai. Nenek berpesan supaya baju melayu ini dipakai ketika acara Halal
bi Halal keluarga yang selalu rutin dilaksanakan pada 2 Syawal. Pemilihan baju
pun jatuh pada baju berwarna hitam. Saya mencoba baju tersebut dan sudah cukup
pas. Harga 1 stelnya lumayan mahal, 79 ringgit atau setara dengan 290 ribu
rupiah. Woow.. saya terharu sekali. Hari ketiga pun ditutup dari situ.
Ya Ricki baju melayu yang merupakan salah satu pakaian kebangsaan bagi lelaki di malaysia tidak lengkap tanpa songkok dan samping (biasanya songket). .. songket Malaysia ditenun yang mengambil masa lams untuk siap..... harganya?:lumayan mahal!
ReplyDelete