Once upon a time in Malaysia (2)
Senin malam saya booking shuttle bus menuju bandara, eh
taunya bos saya ngajak bareng ikut mobilnya menuju Jakarta karena sekalian mau
antar barang ke Serang. Akhirnya shuttle bus itu saya batalkan dan saya menikmati
perjalanan dengan lebih nyaman dengan mobil pribadi.
Sampai di bandara jam 9.20, waktu yang masih panjang untuk
terbang di jam 11.40. saya kemudian check in terlebih dahulu dan berkeliling di
terminal 2D itu. Sempat ada masalah karena kamera tak bisa mengambil gambar
dikarenakan lensa yang error. Akhirnya saya ambil beberapa saat video disana.
Saya lewati satu per satu bagian hingga menunggu di boarding room. Waktu
ternyata berjalan cepat juga, sebelum terbang saya menyempatkan shalat dhuha
atas saran seseorang yang... ah sudahlah..
Seperti biasa, saya masih takut ketinggian. Masih saja ada
pikiran takut terjadi hal-hal yang buruk. Tapi Allah lancarkan perjalanan saya.
Bahkan yang biasanya saya suka sakit kuping saat landing, kemarin tak terasa
sedikitpun. Perjalanan cukup lama, namun dinikmati dengan suka cita. Akhirnya
sampai juga di tanah Malaysia pada jam 14.40 waktu setempat. KLIA2 merupakan
bandara perluasan dari bandara sebelumnya KLIA, suasananya lengang dan masih
rapi. Lorong dari turun pesawat menuju terminal kedatangan begitu jauh. Dan
ketika saya menunggu bagasi, sms datang dari nenek Jainah yang saat itu sudah
stand by menjemput.
Pertemuan yang amat akrab kemudian terjalin, saat pertama
menengok kami seperti sudah saling kenal lama. Tak perlu waktu lama untuk
mencari satu sama lain. Kemudian kami bergerak menuju rumah nenek Halijah.
Perjalanan dari KLIA2 menuju Palong 4 ditempuh dalam 3 jam. Disana ada anak
pertama Kakek (Eyang) dan anak bungsunya. Sedangkan nenek Jainah ini adalah
anak kedua dari eyang. Cuacanya panas, ketika kami masuk langsung menyala 2
kipas angin dan sebuah AC.
Nenek Halijah tinggal di Felda Palong 4, Negeri Sembilan.
Palong itu artinya basin atau lembah. Palong disana ada banyak. Disitu
merupakan perumahan rakyat yang dikelola oleh Felda. Felda itu semacam Perum
Perhutani kalau di Indonesia. Jadi pada masa lalu, kerajaan Malaysia membuka
lahan sebanyak-banyaknya untuk rakyat, setiap keluarga mendapat bagian 10
hektar lengkap dengan rumah sederhana untuk dikelola di bawah pengarahan Felda.
Tanah itu diberikan Cuma-Cuma, ketika hasil panen perkebunan sudah banyak,
kemudian kerajaan baru memberikan pajak atas tanah.
Beberapa saat setelah sampai, waktu berbuka tiba. Disini
buka puasanya jam 7. perbedaannya 1 jam dari Jakarta (WIB). Kami makan disana. Masakannya masih mirip dengan kita. Ada
kolak aci, sayur dan ikan. Masakan ikan dan ayam seringkali bersantan.
Kemungkinan mendapat pengaruh dari masakan Padang, karena banyak ornag Minang
yang ada disana. Bahkan ada daerah-daerah yang diberikan nama dari orang
Padang, salahsatunya Bukit Rokan, Ulu Rokan dan Batang Rokan.
Setelah santap berbuka, kami lanjut dengan Shalat Tarawih.
Selepas itu saya tidur dengan ditemani kipas dan AC yang menyala sepanjang
malam. Paginya ketika bangun, baru terasa dinginnya udara. Kami bersantap sahur
seperti biasa. Keluarga disini begitu baik dan ramah. Apapun makanan dan
minuman ditawarkan, ketika saya selesai dengan porsi nasi pertama, langsung
mereka tawarkan untuk tambah nasi. Seperti rumah sendiri..
Yang paling berkesan adalah cara mereka berbicara, logatnya
unik (menurut saya) dan beberapa pilihan katanya menggelitik. Haha.. karena
seringnya mendengar mereka bicara, menonton sinetron malaysia dan percakapan
orang lain, sampai-sampai saya sulit membedakan penuturan bahasa Indonesia
dengan Melayu. Ini saja untuk membuat artikel ini begitu sulit menemukan kosa
katanya. Terlupa karena sering dengan kosa kata melayu.
Keluasan tanah kebun ialah 10 ekar (acre) shj bukan 10 hektar! Tanah tapak rumah pula sekitar satu per empat ekar. Hampir semua rumah yang kamu lihat itu sudah melalui proses pembinaan semula ... penulisan yang menarik Ricky ... nenek halijah dan kakek2 suka apabila mendengar penulisan kamu dibacakan.
ReplyDelete