Menuju Pendewasaan Politik
Tahun 2014 adalah tahun politik. Banyak hal
penting terjadi di tengah masyarakat. Seharusnya menjadi catatan penting bagi
sejarah bangsa ini. Sayangnya saya terlupa buat mencatat hal-hal itu sebelum
tergelarnya pemilu. Tapi daripada diam sama sekali dan tak meninggalkan
sejarah, mari kita menulis sedikit catatan bagi sejarah bangsa ini.
9 April 2014 dilakukan pemungutan suara untuk
Calon Legislatif. Di tanggal itu pula menjadi puncak gelaran pesta Legislatif
yang sebelumnya telah dimulai sejak akhir tahun lalu ketika bakal calon
legislatif ditetapkan. Seperti biasa, calon-calon tak berkompeten banyak masuk
dan mengisi daftar pilihan kita. Calon-calon yang tak tahu etika politik
menjamur dimana-mana. Karena kampanye yang seharusnya dilakukan bulan maret
lalu, malah sudah dimulai sejak akhir tahun. Baliho dan alat peraga kampanye
lain telah terpasang sejak Desember. Tanda kurang positif bagi pendidikan
politik bangsa.
Jika kita mau belajar, maka seharusnya tak ada
lagi sampah visual sejak Desember itu. Jika dalih para calon legislatif adalah
mengenalkan dirinya lebih awal, maka itu salah besar. Seharusnya mereka
kenalkan kepada masyarakat mengenai pendidikan politik dulu sebelum mengenalkan
diri. Itu lebih bijak dan masuk akal. Oya lupa, bahkan kader partai politik pun
banyak yang tak terdidik..
Coba kita ingat, apakah ada rekruitmen terbuka
bagi kader partai..? apakah ada kegiatan partai diluar pemilu..? misalnya saja
pendidikan politik bagi masyarakat atau kegiatan sosial, tak ada kan..? padahal
kantor sekretariat partai berdiri megah di kota-kota. Atau mungkin kantor itu
hanya terisi saat menjelang pemilu saja..? Cuma mereka yang tahu..
Latar permasalahan itulah yang belum bisa
dijawab partai politik sebagai saluran penyampai aspirasi rakyat. Partai
politik harusnya bersumber dari rakyat, mengenal rakyat dan akan berkepentingan
atas kebutuhan rakyat. Bukannya berkepentingan atas jabatan diatas rakyat.
Banyak hal yang perlu kita belajar di
dalamnya. Lagi-lagi berakar dari kampanye. Karena dari sanalah terlihat motif
utama calon dan cara-cara mereka memandang dan menyelesaikan suatu masalah.
Caleg yang bersih, tahu darimana cara dan kapan memulai kampanye. Tahu
bagaimana kampanye seharusnya dilakukan. Bukan Cuma pasang baliho sebanyak-banyaknya
dan sebesar-besarnya. Wajah tak penting, yang penting apakah mereka tahu apa
yang dibutuhkan rakyat atau tidak..
Untuk caleg yang main politik uang, sudah
pasti rusak akalnya. Cuma mengandalkan uang untuk memperoleh suara. Berarti
tidak ada yang bisa dijual dari dirinya selain uang. Masyarakat hanya dapat
kurang lebih 20.000 rupiah, sedangkan mereka dapat leluasa mengambil bagian
yang lebih besar yang sumbernya dari masyarakat juga.. caleg model begini
harusnya ditantang. Kalo mau suara saya, mari berhitung. Seorang anggota
legislatif duduk di jabatan dalam waktu 5 tahun. Dalam kurun waktu itulah nasib
rakyat diserahkan kepada wakil rakyat. Kebijakan ditentukan oleh anggota dewan.
Maka, jika mau suara kami, bayarlah kami sebesar 5 tahun biaya hidup kami. Karena
kau duduk di jabatan selama 5 tahun, bukan 5 menit yang menghabiskan 20.000.
paham..?
Tapi seperti simbiosis mutualisme, masyarakat
sebagai orang awam telah terlena dan terbiasa dengan hal ini. Bisa jadi berakar
dari budaya terima kasih kita. Karena setiap balas budi, harus dibayar dengan
budi pula. Yang akhirnya disederhanakan menjadi bayar secara cash. Namun di
dunia politik yang penuh kepentingan, budaya seperti itu harus dikesampingkan.
Namun sekali lagi masyarakat telah terbiasa disuapi caleg. Bahkan ada yang
menunggu amplop di detik-detik terakhir.
Bahkan dalam perkembangannya, ornag tahu bahwa
pilitik uang dapat menyebabkan kegilaan dan stress. Makanya dibuatlah rumah
sakit jiwa yang dikhususkan untuk para caleg yang gagal. Saya rasa Cuma di
Indonesia yang terjadi fenomena ini, banyak orang yang tidak siap gagal, bahkan
tidak sadar diri atas kompetensi diri. Sehingga merasa pantas duduk di
legislatif. Ambisi yang besar berkorelasi terhadap resiko yang besar pula. Ya
habislah kau caleg, sudah habis uangmu dimakan rakyat, habis pula tubuhmu
dimakan penyakit dan habis pula hatimu digerogoti keserakahan.
Ada yang paling konyol yang terliput berita,
seorang caleg menarik kembali uang yang sudah dia berikan pada masyarakat
karena dia tidak menang di pemilu. Haha.. itu pikiran macam apa..?
Ada banyak hal lain terjadi, kebanyakan yang
masih belum matang. Padahal pemilu sudah kita laksanakan 11 kali sejak
kemerdekaan. Entah siapa yang belum dewasa, parati politik atau masyarakat..
mari kita belajar bersama dan menuju pendewasaan di bidang politik. Mau tak
mau, kita berhadapan dengan politik setiap hari, setiap kepentingan diputuskan
dengan politik, jika masyarakat tidak memegang politik, maka politiklah yang
giliran memegang masyarakat..
No comments:
ayo, komentari apa yang telah anda baca..! berkomentar berarti telah ikut melestarikan budaya ngeblog. jangan sia-siakan waktu anda dengan berdiam diri.. berkaryalah dan menginspirasi orang lain..!