Imitasi dan identifikasi
Kedua proses sosialisasi tadi hampir sama bentuknya. Kini aku pahami sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dan dialami. Meskipun tidak terasa awalnya, tapi cukup nempel di ingatan. Perilaku, kebiasaan, pola pikir dan cara pemecahan antara aku dan ayahku sangat mirip. Dan disadari atau tidak, itu terjadi karena aku melihat proses itu dari ayahku sejak masa kanak-kanak, terus mendapat penguatan dan akhirnya ditiru menjadi sesuatu yang menurutku benar.
Salahsatu yang baru saja disadari adalah kebiasaan pulang
kampung larut malam. Hehe..
Ya, dulu ketika ayahku masih berdagang di Bogor, ia selalu
pulang ke rumah setiap 2 bulan sekali. Ia menghabiskan banyak waktu berdagang
dan pulang seperlunya. Ia selalu pulang larut malam. Paling sore jam 10 malam
dan paling larut bisa jam 4 dini hari. Ketika pulang ia selalu melihat
anak-anaknya sedang tertidur pulas. Ayahku selalu bilang bahwa ia kehilangan
masa kanak-kanakku karena banyak menghabiskan waktu berdagang, sehingga ketika
pulang ke rumah selalu mendapati anaknya berkembang sangat cepat dari yang ada
di pikirannya.
Ia selalu membawa oleh-oleh. Setidaknya sebotol sirup dan
satu bungkus roti bakar kesukaanku. Ia juga sering mencium kening kami
(anak-anaknya) ketika tidur. Bahkan keningku bisa agak basah dan aku tersadar
sampai menghapus bekas ciumannya di kening. hehe..
Ketika pulang, ibu selalu menyiapkan rumah untuk kedatangan
ayah. Seperti bersih-bersih yang lebih dari biasanya dan kamar mandi yang
selalu dikuras (ya, aku yang bertugas menguras kamar mandi itu). Ia selalu
menyiapkan kedatangan ayah, kedatangannya adalah sesuatu yang spesial. Bahkan
ketika ibu tidak memberi tahu ayah datang, aku sudah tahu dari tanda-tandanya “Ricky,
kuras bak mandi..” itu dia..
Sejak usia Taman Kanak-kanak hingga SMA, hal itu serius
berlangsung. Hampir setiap 2 bulan ia pulang dan hampir 5 hari saja ia di
rumah. Meskipun waktu dengannya agak kurang, namun cukup bagiku untuk meniru
hal-hal yang ia ‘contohkan’ itu..
Kini, aku yang sudah menginjak 21 tahun mengulang itu persis
seperti yang ayah lakukan. Aku kuliah di Bandung dan menikmati kesibukanku di
sini. Banyak hal yang dikerjakan di sini. Dari mulai tugas kuliah, organisasi
hingga pekerjaanku sebagai freelance designer. Banyaknya kesibukan membuatku
nyaman terus tinggal di Bandung. Di sini lebih produktif daripada di rumah.
Maka tidak heran aku juga pulang kampung 2 bulan sekali persis seperti ayah.
Kepulanganku juga begitu spesial dan dinanti. Rumah selalu
tampak lebih rapi, begitupun kamar mandinya. Mungkin tugas menguras itu ibu
wariskan pada adikku satu-satunya. Aria Dwitolio. Hehe.. dibalik itu, aku
trenyuh..
Tiap kali aku pulang, selalu larut. Paling tidak, aku
berangkat dari Bandung selepas maghrib, sampai di rumah sekitar jam 9. Meskipun
tidak secara langsung meniru, tapi pulang larut menjadi sebuah hal yang seru.
Makanya selalu aku lakukan. Tapi beda dengan ayah yang sudah berpenghasilan
tetap, aku jarang membawa oleh-oleh. Yaa kalo ada rezeki pasti aku bawa sesuatu
ke rumah.
Kadangkala aku juga menyempatkan ngobrol dulu dengan ibu
sebelum istirahat. Ayah juga begitu dulu. Ketika itu, aku juga sadar telah
banyak melewatkan perkembangan adikku yang hingga kini telah tumbuh melebihi
aku. Malam ini, ketika aku menulis ini, aku tahu, aku telah menjadi duplikasi
ayah. Ibuku juga telah menempatkan aku sebagai seorang yang dewasa setidaknya
hampir menyamai ayah. Malam ini juga aku sadar telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari keluarga kecil ini. Keluarga yang membuat aku sebesar ini dan
memberikan banyak pelajaran. Suatu saat pasti akan ada lagi pelajaran..
jadi rindu rumah...
ReplyDeletedakupun sama pulang 2 bulan sekali. :)
ketikaku pulang...selalau ada ayam goreng dan sop ayam dirumah. :)