Soal ‘tradisi’ Tawuran
Baru-baru ini terjadi kasus tawuran antara pelajar SMA 6
Jakarta dan SMA 70 Jakarta (juga). Hal ini merupakan pukulan yang berat bagi
pembangunan pendidikan dan Sumber Daya Manusia Indonesia. Ditengah upaya
mati-matian untuk tetap membangun pendidikan yang beradab dan meningkatkan mutu
pendidikan, kasus tawuran merusak kembali citra pendidikan di Indonesia.
Saya sebagai insan pendidikan tentunya sangat prihatin
dengan hal itu. Ini membuktikan pada kita, bahwa perbaikan pendidikan masih
belum terjadi. Nilai-nilai mata pelajaran yang besar dan kelulusan 100% di
banyak sekolah belum layak untuk disebut sebagai ‘perbaikan pendidikan’. Hal
yang paling penting dalam pendidikan adalah pembangunan moral peserta didik
untuk membuat hidup mereka berubah.
Tawuran memang seperti sudah akrab di telinga kita untuk
para pelajar. Dulu saat saya SMP, pernah juga akan terjadi tawuran di sekolah
saya. Saya anggap itu keren. Tapi ketika waktu berjalan dan hingga kini saya
duduk di bangku perkuliahan. Baru saya sadar bahwa hal itu menunjukkan pada
kita, bahwa pendidikan tidak berjalan dengan semestinya. Pendidikan bukanlah
nilai 9 di banyak pelajaran, pendidikan bukanlah kelulusan 100% dan standarisasi
sekolah-sekolah.
Saya bisa memahami kultur mereka para pelajar di Jakarta. Karena
saya juga seorang pelajar. Bayangkan, hidup ditengah kota metropolitan yang
penuh dengan aktifitas dan segala permasalahan yang ada, tentunya pelajar ikut
stress melihat sibuknya ibukota dalam ‘melayani’ warganya. Hal itu menjadi
pemicu keadaan emosi yang cepat naik dan dapat menurunkan produktifitas dalam
belajar. Namun disamping itu, kultur pendidikan yang materialistis telah
membuat keadaan pendidikan ini makin tidak baik buat generasi muda kita.
Pendidikan memang makin maju. Kualitas sumber daya manusia
Indonesia makin bagus. Juara olimpiade sains internasional dan beberapa ajang
bergengsi lainnya seringkali mampir di rumah kita. Namun kenapa masih ada
tawuran..? kejadian ini membuat kita tersadar bahwa pendidikan instan yang
mengejar nilai belumlah cukup untuk menuntun kita pada tujuan pendidikan
nasional yaitu menjadi manusia seutuhnya. Kita belum utuh saudara..
Mari kita lihat, Tawuran bermula dari kultur yang berkembang
di sekolah itu. Bisa dari siswa yang senang dengan senioritas atau guru yang
semena-mena. Dari bukti yang sering diperlihatkan di televisi, sepertinya
kultur siswa yang menyenangi senioritas adalah pemicunya. Bertahun-tahun siswa
hidup di lingkungan hukum rimba, yang kuat yang bertahan, dan yang lemah akan punah.
Perasaan dendam pernah menjadi siksaan di masa lalu akan menjadi pemicu
terjadinya balas dendam kepada angkatan di bawahnya. Begitu seterusnya hingga
hal ini dapat terjadi seperti bom waktu.
Disamping itu semua, lemahnya pengawasan sekolah sebagai pengatur
pergaulan siswa tidak dijalankan oleh yang pihak sekolah sendiri. Lalu tinggal
menunggu waktu saja untuk meledak seperti bom, dan itulah keadaan saat ini. Ditambah
mudahnya nilai-nilai baru masuk ke dalam diri siswa tanpa penyaring terlebih
dahulu, maka nilai tersebut akan langsung diinternalisasi menjadi sebuah nilai
yang benar menurut mereka.
Akhirnya, Semoga kita semua dapat belajar dari keadaan yang
paling sulit pun. Karena Tuhan tidak menurunkan kesulitan tanpa ada hikmah di
dalamnya. Belajar dari kejadian ini, karena tugas belajar bukan hanya milik
siswa. Semua orang yang berkepentingan dalam hal pendidikan harus dapat
memperhatikan masalah ini dan dapat bersama-sama mencarikan solusi yang terbaik
agar generasi muda pemimpin bangsa ini tidak hancur.
Kalau menurut saya, kageng. Lebih ke pendidikan yang makin kesini makin jauh dari agama. Dan ya, senioritas juga, hanya kalau senioritas tidak sampai sejauh itu.
ReplyDeletehmmm... pas sekali kang. salahsatunya memang faktor itu.
ReplyDelete