PPLG, cerita tentang aku dan alam (3)
Hujan saat itu sangat tahu waktu. Ia berhenti ketika kami berhenti melahap butiran nasi terakhir. Kami pun berpakaian kembali dan memakai atribut. Komdis menyuruh untuk membereskan tenda kami. Setelah itu kami dikumpulkan untuk kemudian di inspeksi peralatan pribadinya.
Saat itu sangat tegang, seluruh komisi disiplin bersiaga di depan barisan. Mereka melihat dengan seksama barang-barang kami. Mungkin saja ada yang terlewat atau tidak dibawa. Ada pemandangan lain saat itu. Aku lihat pegunungan yang berada di depan mata mulai ditutupi kabut putih. Dan ketika waktu terus berlalu dan komdis terus saja berbicara, aku malah merasakan romantisme saat tiap jengkal kabut itu mendekat dan akhirnya menyatu bersama kami ketika matahari tenggelam.
Setelah pemeriksaan peralatan selesai, tugas kami membuat 5 surat untuk panitia yang sebelumnya dikumpulkan, di inspeksi juga. Beberapa oang yang ketahuan tak menyelesaikan tugasnya dengan terpaksa harus berdiri menjadi pesakitan. Cerita selanjutnya tak menarik dan tak perlu diceritakan.
Senja tiba, adzan yang merdu memanggil kami untuk segera mendekatkan diri pada pencipta alam nan agung yang telah menganugerahkan segala keindahan alam ini. Kami beribadah dengan khusyuk. Meski peluh, meski dingin, meski kami kotor.. kami jalani hari itu. Makan malam tiba kembali. Kami sudah tidak sabar melahap makanan itu, karena perut kami memang sudah kosong lagi. Makanan dibagikan dan kita santap lagi. Seperti biasa, kelompok kami yang pertama finish. Kami kemudian bahu membahu menghabiskan makanan teman kami walau beda kelompok.
Acara makan malam habis, kami dikumpulkan di tempat kami berkemah untuk mendengarkan sedikit petuah dari dosen-dosen inspiratif kami. Kata-kata mereka dalam dan menggugah semangat kami untuk terus berkarya dan bangun dari kemalasan ini. Tak perlu langkah panjang, hanya sebuah langkah sepanjang jengkal saja cukup untuk memulai sebuah karya.
Anggota kami mulai tumbang. Sejak kemain, kesehatan reni pada waktu malam hari memang tidak pernah baik. Begitupun dengan kesehatan gina yang menuun. Ditambah lagi dengan kedinginannya daniel dan nendy pun sempat mengeluh dengan keadaan tubuhnya. Dendra juga mengeluh pusing katanya. Aku sempat putus asa dengan keadaan yang ada, tapi saat aku berpikir seperti itu, sang dosen dengan lantang mengucap kata-kata penyemangat. Aku pun bangkit dan menyusun bait-bait puisi. Dalam waktu sekitar 15 menit, 7 bait puisi berhasil aku buat plus skenario pentas yang sangat-sangat-sangat mendadak.
Pentas seni tiba. Aku tak gentar menghadapi malam ini. Aku siap. Dan ketika pembawa acara membacakan urutan pentas dari belakang (kelompok 10 dahulu), maka aku langsung terkesiap dan berani mengambil resiko yang ada. Kami kemudian berunding sejenak dan mengatur strategi yang telah aku susun. Saat kelompok 10 tampil, aku sudah tenang dan siap menghadapi puluhan pasang mata.
Saat itu sangat tegang, seluruh komisi disiplin bersiaga di depan barisan. Mereka melihat dengan seksama barang-barang kami. Mungkin saja ada yang terlewat atau tidak dibawa. Ada pemandangan lain saat itu. Aku lihat pegunungan yang berada di depan mata mulai ditutupi kabut putih. Dan ketika waktu terus berlalu dan komdis terus saja berbicara, aku malah merasakan romantisme saat tiap jengkal kabut itu mendekat dan akhirnya menyatu bersama kami ketika matahari tenggelam.
Setelah pemeriksaan peralatan selesai, tugas kami membuat 5 surat untuk panitia yang sebelumnya dikumpulkan, di inspeksi juga. Beberapa oang yang ketahuan tak menyelesaikan tugasnya dengan terpaksa harus berdiri menjadi pesakitan. Cerita selanjutnya tak menarik dan tak perlu diceritakan.
Senja tiba, adzan yang merdu memanggil kami untuk segera mendekatkan diri pada pencipta alam nan agung yang telah menganugerahkan segala keindahan alam ini. Kami beribadah dengan khusyuk. Meski peluh, meski dingin, meski kami kotor.. kami jalani hari itu. Makan malam tiba kembali. Kami sudah tidak sabar melahap makanan itu, karena perut kami memang sudah kosong lagi. Makanan dibagikan dan kita santap lagi. Seperti biasa, kelompok kami yang pertama finish. Kami kemudian bahu membahu menghabiskan makanan teman kami walau beda kelompok.
Acara makan malam habis, kami dikumpulkan di tempat kami berkemah untuk mendengarkan sedikit petuah dari dosen-dosen inspiratif kami. Kata-kata mereka dalam dan menggugah semangat kami untuk terus berkarya dan bangun dari kemalasan ini. Tak perlu langkah panjang, hanya sebuah langkah sepanjang jengkal saja cukup untuk memulai sebuah karya.
Anggota kami mulai tumbang. Sejak kemain, kesehatan reni pada waktu malam hari memang tidak pernah baik. Begitupun dengan kesehatan gina yang menuun. Ditambah lagi dengan kedinginannya daniel dan nendy pun sempat mengeluh dengan keadaan tubuhnya. Dendra juga mengeluh pusing katanya. Aku sempat putus asa dengan keadaan yang ada, tapi saat aku berpikir seperti itu, sang dosen dengan lantang mengucap kata-kata penyemangat. Aku pun bangkit dan menyusun bait-bait puisi. Dalam waktu sekitar 15 menit, 7 bait puisi berhasil aku buat plus skenario pentas yang sangat-sangat-sangat mendadak.
Pentas seni tiba. Aku tak gentar menghadapi malam ini. Aku siap. Dan ketika pembawa acara membacakan urutan pentas dari belakang (kelompok 10 dahulu), maka aku langsung terkesiap dan berani mengambil resiko yang ada. Kami kemudian berunding sejenak dan mengatur strategi yang telah aku susun. Saat kelompok 10 tampil, aku sudah tenang dan siap menghadapi puluhan pasang mata.
No comments:
ayo, komentari apa yang telah anda baca..! berkomentar berarti telah ikut melestarikan budaya ngeblog. jangan sia-siakan waktu anda dengan berdiam diri.. berkaryalah dan menginspirasi orang lain..!